Sang Sungai sedang bersedih.
“Mengapa ya semua orang tega membuang sampahnya
disini? Aku kan sebenarnya merupakan sumber air bagi mereka. Seandainya saja
mereka mau merawatku.” gerutunya.
Dari kejauhan tampak dua orang remaja yang sedang
berjalan. Mereka asyik mengobrol sambil menikmati camilan yang ada di tangan
mereka masing-masing. Sungai mengawasi mereka.
“Hmm enak. Sayang, cepat habis,” kata salah satu dari
mereka. Tiba-tiba, dilemparkannya bungkus snack itu ke arah Sungai. Plak!
Sampailah bungkus snack itu ke permukaan air Sungai. Sungai pun semakin
merengut karenanya.
“Coba lihat! Begitu cara mereka memperlakukanku!”
Namun tak banyak yang bisa dilakukannya. Hatinya
semakin sedih, dan juga marah.
“Tak tahukah mereka bahwa aku ada untuk keindahan
mereka juga, membantu mereka, memberi mereka sumber air? Aku seharusnya selalu
bersih. Tapi karena mereka tak pernah peduli padaku, aku menjadi seperti ini,
airku keruh dan kotor, penuh sampah. Banyak kuman penyakit bersarang di airku.
Kalau begini kan aku tak bisa lagi membantu mereka. Siapa yang rugi? Bukankah
mereka sendiri?”
Sungai mulai meneteskan air matanya. Semakin deras dan
semakin deras. Tiba-tiba langit pun ikut menangis bersama Sungai. Berdua mereka
menumpahkan air mata. Semakin banyak dan semakin banyak. Hingga airnya meluap,
tak dapat ditampung lagi oleh Sungai. Air membuncah keluar, dan menuju ke
perkampungan warga dengan cepat.
Warga panik. Mereka segera berusaha menyelamatkan
harta bendanya dari amukan air Sungai. Yang rumahnya berlantai dua, segera
memindahkan barang-barang penting ke lantai atas rumahnya. Sedangkan yang bisa
berlari dan mengungsi, segera pergi dari rumahnya masing-masing.
Kali ini tangis si Sungai benar-benar meluap. Ia sudah
tak tahan dengan tumpukan sampah yang terus menjejalinya.
“Wah, banjirnya agak parah,” keluh beberapa warga yang
melihat dari kejauhan di pengungsian.
“Yah, sebenarnya banjir itu kan bukan kesalahan alam.
Kita tak bisa menyalahkan alam, atau sungai yang tiba-tiba meluap. Kitalah
sebagai manusia yang seharusnya sadar. Saya jadi ingat, dulu sungai itu masih
jernih, masih bisa dijadikan tempat untuk mencuci baju, mencuci piring, bahkan
mandi bersama teman-teman kecil Bapak. Namun sekarang banyak orang yang suka
membuang sampah ke dalamnya. Sungguh sangat disayangkan.” Seorang bapak berkata
sambil merenung.
Warga yang mendengar cerita bapak tadi ikut tercenung.
Bapak itu melanjutkan, “Padahal, sungai itu bisa
menjadi tampungan air jika ia dibiarkan mengalir dengan lancar. Namun sampah
manusialah yang membuatnya tak bisa mengalir lagi. Airnya juga jadi tak
sejernih dulu.”
Si Sungai yang mendengarnya, sedikit terharu. Ternyata
masih ada manusia yang memperhatikannya.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, sepertinya kita harus melakukan
perubahan. Bagaimanapun, ini adalah untuk kepentingan kita juga. Jika banjir
sudah surut mari kita bergotong royong membersihkan sungai. Mulai
mendisiplinkan diri untuk tidak lagi membuang sampah di sungai.
Mereka semua setuju dengan usul Bapak tadi.
Tiga hari kemudian banjir mulai surut. Warga lega bisa
kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka pun bekerja membersihkan rumahnya
dari sisa-sisa kotoran tanah bekas banjir.
Beberapa warga juga mulai bergotong royong
membersihkan sungai. Tak lama kemudian, menyusul warga yang lain bergabung
bersama warga yang lebih dulu turun ke sungai. Mereka bekerja dengan giat,
mengumpulkan sampah yang mengapung di permukaan air dengan perahu-perahu kecil.
Sungai menjadi lebih bersih sekarang, meski belum benar-benar jernih, akibat
sampah yang sudah terlalu banyak hingga mengubah warnanya, namun sungai itu
kini bisa mengalir dengan lancar.
Warga pun bersyukur, dan berjanji tak kan membuang
sampah lagi di sungai.
Si Sungai pun kini senang. Karena warga akhirnya sadar
bahwa dirinya diciptakan memang untuk menjaga keseimbangan alam. Mengalirkan
air yang sebenarnya bisa dimanfaatkan warga, namun bukan untuk membuang sampah.
“Terima kasih semua!” seru Sungai riang.
Sebelumnya
sudah pernah dipublikasikan di blog pribadi: sohibunnisa.blogspot.com
Image diambil dari sini.
Data Penulis
Nama: Ade Delina Putri
Blog: sohibunnisa.blogspot.com
Twitter: @adedelinaputri
Facebook: Ade Delina Putri